Sabtu, 23 Agustus 2008

Demam Berdarah Dengue

Oleh : Hendra Arif Wibowo

1. Pengertian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit akut yang ditandai dengan panas mendadak selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas disertai dengan manifestasi perdarahan dan kadang–kadang disertai dengan berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau rejatan (syok). (Ditjen PPM dan PLP, 1996 :21). Menurut Satari (2004), Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang berakibat fatal. Sedangkan menurut Hiswani (2003), penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi virus, terutama menyerang pada anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan shock yang menyebabkan kematian.

2. Penyebab infeksi
Penyebab penyakit ini adalah virus dengue, virus ini termasuk kelompok arthopode borne virus, famili Togaviridae dan termasuk genus Flavivirus dengue. Terbagi empat macam / serotipe yaitu:
a. Dengue 1 (DEN – 1), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
b. Dengue 2 (DEN – 2), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
c. Dengue 3 (DEN – 3), diisolasi oleh Sather.
d. Dengue 4 (DEN – 4), diisolasi oleh Sather. (Hiswani.2003).

Akibat infeksi virus dengue dapat menimbulkan bermacam-macam gejala seperti di bawah ini:
a. Asymtomatis.
b. Mild Undifferentiated Febrile Illnes.
c. Dengue Fever ( demam dengue ).
d. Dengue haemorrhagic Fever ( DHF-DBD ).
e. Dengue Shock Syndrome ( DSS ). (Hiswani.2003).
Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimia lain serta masa viremia yang pendek, sehingga keberhasilan dan identifikasi virus sangat bergantung kepada kecepatan dan ketepatan pengambilan. Virus DEN virionnya tersusun oleh suatu untaian genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu envelope (selubung) dari lipid yang mengandung 2 protein, yaitu selubung protein (E) dan protein membran (M).(Soegijanto, 2004).

3. Tanda dan Gejala Klinik
Untuk mendignosa penyakit DBD ini dipakai patokan kriteria klinik WHO (1999) sebagai berikut:
a. Demam mendadak tanpa penyebab yang jelas serta disertai penurunan aktifitas dan nafsu makan.
b. Timbul perdarahan baik di gigi, mulut, hidung, kulit, atau tinja.
c. Demam yang disertai kemerahan di wajah dan leher serta muntah.
d. Tiba-tiba terjadi penurunan suhu tubuh setelah beberapa waktu penderita mengalami demam. Gejala ini diiringi dengan rasa gelisah, sakit perut, dan badan lemas.
Kriteria untuk diagnosis laboratorium, satu atau lebih dari hal-hal berikut :
a. Isolasi virus dengue dari serum, plasma, leukosit ataupun otopsi
b. Ditemukannya anti bodi IgG ataupun AgM yang meningkatkan titernya mencapai empat kali lipat terhadap satu atau lebih antigen dengue dalam spesimen serta berpadangan.
c. Dibuktikan adanya virus dengue dari jaringan otopsi dengan cara immunokimiawi atau dengan cara immuno-flouresens, ataupun di dalam spesimen serum dengan uji ELISA
d. Dibuktikan dengan keberadaan gambaran genomic sekuen virus dari jaringan otopsi, sediaan serum atau cairan serbro spinal (CSS), dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR). (Anonim, 2007)
Kewaspadaan menegakkan diagnosis dini penyakit ini sangat penting oleh karena:
a. Satu dari tiga penderita Demam Berdarah Dengue akan jatuh ke dalam renjatan.
b. Angka kematian yang tinggi sekitar 30 %, diakibatkan renjatan,merupakan gambaran yang menakutkan dan memerlukan penatalaksanaan secara khusus.
c. Penderita yang jatuh ke dalam renjatan pada waktu sedang dirawat, mempunyai prognosis yang lebih baik. (Pasaribu, 1992)

4. Derajat Penyakit
Pembagian derajat DBD menurut WHO (1999)
a. Derajat I
Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik; satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniket dan/atau mudah memar.
b. Derajat II
Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada derajat I, biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.
c. Derajat III
Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah, serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah.
d. Derajat IV
Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.

5. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruangan ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokosentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma turun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.
Tidak terjadi lesi destruksi nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hematokrit pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak di antara penderita menunjukkan kuagulogram yang abnormal. .( Soegijanto, 2004)

6. Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. ( Soegijanto, 2004)
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen strukutral dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. ( Soegijanto, 2004)
Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosi pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi di antara keempat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotipe DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada cross protektif terhadap serotipe virus yang lain.( Soegijanto, 2004)

7. Penularan Penyakit DBD
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brasil dan Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. (Depkes RI, 2005)
Penyakit demam berdarah biasanya menyerang anak-anak, tapi sekarang tidak lagi mengenal golongan usia, semua golongan umur bisa mengalaminya, terutama anak usia muda. Sebab, nyamuk aedes aegypti biasa menyerang anak-anak sekolah dan perkantoran. (Banjarmasin Pos, 2007). Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini muncul akibat pengaruh musim / alam serta perilaku manusia.(Depkes RI, 2004).

8. Masa Penularan Penyakit DBD
Masa penularan penyakit DBD biasanya terjadi disekitar musim hujan. Namun masing-masing daerah pola musiman ini berbeda-beda, bahkan untuk wilayah yang sama musim penularan dapat berbeda dari tahun ke tahun. Kadang-kadang pada awal atau akhir musim hujan, atau kadang-kadang sesudah musim hujan. Yang jelas penyakit ini dapat datang sewaktu-waktu. Oleh karena itu masyarakat harus selalu waspada terhadap tanda-tanda penyakit demam berdarah.
Pada hari-hari pertama sakit, tanda-tanda penyakit demam berdarah sangat sulit dibedakan dengan influenza atau penyakit infeksi virus lain. Sering kali hanya ada demam atau panas saja yang timbul secara mendadak, badan lemah, lesu, kadang-kadang ada bintik-bintik merah diikuti seperti bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakan dapat dilakukan dengan cara merenggangkan kulit disekitar bintik merah itu. Jika bintik merah tidak hilang dengan perenggangan kulit ini, hal ini merupakan salah satu tanda penyakit demam berdarah.
Sebagian besar penderita akan sembuh tanpa obat-obat khusus. Tetapi pada sebagian penderita, bisa bertambah parah yaitu jika terjadi pendarahan di semua jaringan tubuh. Pendarahan ini bisa tampak dari luar berupa pendarahan dari mulut, hidung, atau bahkan muntah darah dan berak darah. Tetapi kadang-kadang pendarahan ini tidak tampak, yaitu bila pendarahannya terjadi pada alat-alat dalam tubuh seperti otak, limpa dan ginjal. Proses menjadi parah ini berlangsung cepat, bisa dalam beberapa jam atau beberapa hari. Kemudian bisa menimbulkan shock dan kematian. Keadaan kritis ini biasanya terjadi pada hari ke 3 atau hari ke 5 sakit, atau bisa lebih awal.
Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan cara pemeriksaan yang bisa meramalkan penderita-penderita mana yang akan menjadi parah. Oleh karena itu pada dasarnya semua penderita penyakit demam berdarah dengue perlu dirawat inap, agar dapat diobservasi dan pemeriksaan laboratorium secara teratur, dengan maksud bila terjadi keadaan memburuk dapat segera diberikan tindakan pertolongan yang diperlukan. Karena sifatnya yang akut inilah, maka jika terdapat tanda-tanda penyakit demam berdarah, masyarakat diharapkan untuk memeriksakan kepada dokter, rumah sakit atau puskesmas.
(Hiswani, 2003).

9. Tempat Potensial bagi Penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Berdasarkan teori infeksi sekunder, seseorang dapat terserang jika mendapat infeksi ulangan dengan virus dengue tipe yang berlainan dengan infeksi sebelumnya, misalnya infeksi pertama dengan virus Dengue-1, infeksi kedua dengan Dengue-2. Infeksi dengan salah satu tipe virus dengue saja, paling berat hanya akan menimbulkan demam dengue (DD).
Oleh karena itu tempat yang potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :
a. Wilayah yang banyak kasus DBD (endemis).
b. Tempat-tempat umum merupakan tempat “berkumpulnya” orang-orang yang datang dari berbagai wilayah, sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat tersebut antara lain :
1) Sekolah
a) Anak / murid sekolah berasal dari berbagai wilayah.
b) Merupakan kelompok umur yang paling susceptible terserang DBD.
2) Rumah sakit / Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan yang lainnya. Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, DD atau carier virus dengue.
3) Tempat umum lainnya, seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran, dan tempat ibadah.
c. Pemukiman baru di pinggir kota
Karena di lokasi ini penduduknya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa virus dengue yang berlainan dari masing – masing lokasi asal.
(Depkes RI, 2005)

10. Mekanisme Penularan Virus Dengue
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penular demam berdarah dengue (DBD). Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.
Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap ke dalam lambung nyamuk, selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 (satu) minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis), agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan nyamuk dari nyamuk ke orang lain. (Depkes RI, 2005).

11. Akibat Penularan Virus Dengue
a. Orang yang terinfeksi virus dengue, maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti (riteria) yang spesifik sesuai dengan tipe virus dengue yang masuk. Gejala dan tanda yang timbul ditentukan oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalam virus dengue yang baru masuk.
b. Orang yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita demam dengue (DD) atau demam yang ringan dengan gejala dan tanda yang tidak spesifik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali (asimptomatis). Penderita DD biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari pengobatan.(Depkes RI, 2005).

12. Penyebaran Penyakit DBD
Seperti diketahui bahwa penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Dewasa ini dikenal 4 type virus dengue di Indonesia, yaitu virus dengue type 1, 2, 3, dan 4. Menurut teori infeksi sekunder, seseorang yang hanya terkena infeksi satu macam virus dengue saja tidak akan jatuh sakit, kecuali hanya merasa demam ringan. Namun bila orang tersebut terinfeksi oleh 2 macam virus dengue, barulah yang bersangkutan akan menderita sakit DBD.
Penyebaran berbagai tipe virus dengue ini dari suatu wilayah ke wilayah lain dibawa oleh orang-orang yang terinfeksi virus dengue yang berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ditempat yang baru melalui gigitan nyamuk penular DBD seperti Aedes aegypti dan Aedes albopictus menyebarkannya kepada orang lain disekitarnya. Penyebaran virus akan mudah terjadi di daerah yang padat penduduknya.
Dari data yang ada dewasa ini subdit arbovirosis Ditjen PPM-PLP, diketahui bahwa dari 301 Dati II yang ada di Indonesia , 255 buah Dati II telah terjangkit DBD . Ini artinya menunjukkan bahwa 84,7 % Dati II diseluruh Indonesia telah diramba virus dengue dan cepat atau lambat , sisa Dati II yang belum terjamah virus DBD pasti akan terjamah juga karena tidak ada manusia yang kebal virus DBD.(Hiswani, 2003).
13. Sejarah Perkembangan Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Di Indonesia penyakit demam berdarah dengue mulai dikenal pada tahun1968. Sejak awal masuknya penyakit ini di Indonesia hingga tahun 1974 upaya pemberantasan belum diprogramkan dan upaya pemberantasannya dimasukkan dalam program pemberantasan penyakit lain-lain. Kegiatan pokok pemberantasannya meliputi penemuan kasus, pengobatan penderita serta penyemprotan dilokasi kasus DBD..
Mulai tahun 1974 s/d 1980 dibentuk subdit Arbovirosis pada Direktorat Jenderal PPM-PLP dan kegiatan pemberantasannya mulai diprogramkan yang meliputi: pengamatan, pengobatan penderita. Demikian pula dengan yang menangani pemberantasan penyakit DBD Dati-I dan Dati-II. Pada tahun 1980 s/d 1985 program kegiatan DBD dikembangkan dengan melaksanakan abatisasi massal bagi kota-kota dengan endemisitas DBD tinggi yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Abatisasi massal telah dipertajam sasarannya sejak tahun1985 s/d 1989, melalui stratifikasi desa endemis dan non-endemis. Di desa abatisasi terhadap tempat-tempat penampungan air yang ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti.
Tahun 1992 sampai dengan sekarang, stratifikasi desa disempurnakan manjadi 3 strata yaitu: endemis, sporadis dan potensial/bebas. Tugas dan fungsi subdit Arbovirosis semakin jelas dengan terbitnya SK Menkes No. 581 tahun 1992 yang menetapkan bahwa upaya pemberantasan DBD dilakukan melalui kegiatan pencegahan, penemuan, pelaporan penderita, pengamatan penyakit dan penyelidikan epidemiologi, penanggulangan seperlunya dan penyuluhan kepada masyarakat.(Hiswani, 2003).

14. Taksonomi Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti L. (Diptera : Culicidae) disebut black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan diatas dasar hitam. Di Indonesia nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk-nyamuk rumah. .( Soegijanto, 2004).
Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto(2004), kedudukan nyamuk Ae. Aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis :Aedes aegypti L

15. Ciri-Ciri Nyamuk Ae. Aegypti
a. Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih
b. Pertumbuhan telur sampai dewasa ± 10 hari
c. Menggigit/menghisap darah pada siang hari
d. Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
e. Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah yang agak gelap dan lembab, bukan di got/comberan
f. Hidup di dalam dan di sekitar rumah
g. Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bungan, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain.
h. Di luar rumah: drum, tangki penampungan air, kaleng bekas, ban bekas, botol pecah, potongan bambu, tempurung kelapa, dan lain-lain. (Chemika, 2004)
16. Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Nyamuk Ae. Aegypti
Menurut Soegijanto (2004), masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna (holometabola).
a. Telur
Telur nyamuk Ae. Aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85 % melekat di dinding TPA, sedangkan 15 % lainnya jatuh ke permukaan air.
b. Larva
Larva nyamuk Ae. Aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antenna tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu(tuft). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.
c. Pupa
Pupa nyamuk Ae. Aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-dada (cephalotorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengunyah yang berguna untuk berenang,. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomer 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.
d. Dewasa
Nyamuk Ae. Aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antenna yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antenna tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.
Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, porothorax, mesothorax, dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Ae. Aegypti berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk : lyre) pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya (Gambar 2.1)
Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk Ae. Aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya. (Soegijanto, 2004)
Gambar 2.1. Nyamuk Aedes aegypti dewasa

17. Ekologi dan Bionomi nyamuk Aedes aegypti
Telur, larva dan pupa nyamuk Ae. Aegypti tumbuh dan berkembang di dalam air. Genangannya yang disukai sebagai tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air di tanah.
Survey yang telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa tempat perindukan yang paling potensial adalah TPA yang digunakan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember dan sejenisnya. Tempat perindukan tambahan adalah disebut non-TPA, seperti tempat minuman hewan, barang bekas, vas bunga, perangakap semut dan lain-lainnya, sedangkan TPA alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu dan lain-lainnya. Nyamuk Ae. Aegypti lebih tertarik untuk meletakkan telurnya pada TPA berair yang berwarna gelap, paling menyukai warna hitam, terbuka lebar, dan terutama yang terletak di tempat-tempat terlindung sinar matahari langsung.
Nyamuk Ae. Aegypti hidup domestik, lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada luar rumah. Nyamuk betina menggigit dan menghisap darah lebih banyak di siang hari terutama pagi atau sore hari antara pukul 08.00 sampai dengan 12.00 dan 15.00 sampai dengan 17.00. Kesukaan menghisap darah lebih menyukai darah manusia daripada hewan, menggigit dan menghisap darah beberapa kali pada siang hari orang sedang aktif, nyamuk belum menghisap darah beberapa kali karena pada siang hari orang sedang aktif, nyamuk belum kenyang, orang sudah bergerak, nyamuk terbang dan menggigit lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya.
Waktu mencari makanan, selain terdorong oleh rasa lapar, nyamuk Ae. Aegypti juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bau yang dipancarkan oleh inang, temperatur, kelembaban, kadar karbon dioksida, dan warna. Khan dkk.(1996) melaporkan bahwa untuk jarak yang lebih jauh, faktor bau memegangi peranan penting bila dibandingkan dengan faktor lainnya. Kebiasaan istirahat lebih banyak di dalam rumah pada benda-benda yang bergantung, berwarna gelap dan di tempat-tempat lain yang terlindung. (Soegijanto, 2004).

18. Siklus Hidup nyamuk Aedes aegypti
Telur nyamuk Ae aegypti di dalam air dengan suhu 20-400 C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari. (Soegijanto, 2004).

19. Perilaku Nyamuk Dewasa
Setelah lahir (keluar dari kepompong), nyamuk istirahat di kulit kepompong untuk sementara waktu. Beberapa saat setelah itu sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari mangsa / darah.
Nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina menghisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada binatang ( bersifat antropofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut satu siklus gonotropik (gonotropic cycle).
Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktifitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.
Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu + 2 hari setelah terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -20 C sampai 420 C, dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.(Depkes RI, 2005).

20. Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti
Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh.
Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah + 1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut.(Depkes RI, 2005).

21. Pengendalian Vektor
Tujuan pengendalian vektor utama adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Ae. Aegypti sampai serendah mungkin sehingga kemampuan sebagai vektor menghilang. Secara garis besar ada 5 cara pengendalian vektor yaitu dengan cara :
a. Pengendalian cara kimiawi
Di sini digunakan insektisida yang dapat ditujukan terhadap nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan terhadap nyamuk dewasa Ae.aegypti antara dari golongan organochlorine, organophosphor, carbamate, dan pyrethroid. (Soegijanto, 2004).
Bahan-bahan insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Ae. Aegypti yaitu dari golongan organophosphor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang dilarutkan dalam air di tempat perindukannya (abatisasi). (Soegijanto, 2004).
b. Pengendalian cara radiasi
Di sini nyamuk dewasa jantan diradiasi dengan bahan radioaktif dengan dosis tertentu sehingga menjadi mandul. Kemudian nyamuk jantan yang telah diradiasi ini dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nanti akan berkopulasi dengan nyamuk betina, tapi nyamuk betina tidak akan dapat menghasilkan telur yang fertil. (Soegijanto, 2004).
c. Pengendalian lingkungan
Di sini dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada lubang ventilasi rumah, jendela, dan pintu. Dan yang sekarang digalakkan oleh pemerintah yaitu gerakan 3M yaitu :
1) Menguras tempat penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam dan dibilas paling sedikit seminggu sekali,
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa,
3) Menanam / menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dapat menampung air hujan. (Soegijanto, 2004).
Ada cara lain lagi yang disebut autocidal ovitrap. Di sini digunakan suatu tabung silinder warna gelap dengan garis tengah + 10 cm, salah satu ujung tertutup rapat dan ujung yang lain terbuka. Tabung ini diisi air tawar kemudian ditutup dengan tutup kasa nylon. Nyamuk Ae. Aegypti bertelur di sini dan bila telur menetas menjadi larva dalam air tadi. Bila larva menjadi nyamuk dewasa maka akan tetap terperangkap di dalam tabung tadi. Secara periodik air dalam tabung ditambah untuk mengganti penguapan yang terjadi. (Soegijanto, 2004).
Dari semua cara pengendalian tersebut di atas tidak ada satu pun yang paling unggul. Untuk menghasilkan cara yang efektif maka dilakukan kombinasi dari beberapa cara tersebut di atas. Tapi yang paling penting di atas semua cara-cara tersebut adalah menggugah dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau memperhatikan kebersihan lingkungannya dan memahami tentang mekanisme terjadinya penularan penyakit DBD sehingga dapat berperan secara aktif menanggulangi penyakit DBD. (Soegijanto, 2004).
d. Pengendalian genetik
Pengendalian genetik telah banyak dilakukan dalam percobaan tetapi belum pernah ditetapkan di lapangan. Salah satu cara pengendalian genetik adalah dengan teknik jantan mandul, yaitu melepas sejumlah besar nyamuk-nyamuk jantan yang sudah dimandulkan. Nyamuk-nyamuk betina hanya kawin satu kali, seumur hidup, sehingga jika nyamuk betina dikawinkan dengan nyamuk jantan mandul tadi, maka tidak akan menghasilkan keturunan. (Soegijanto, 2004).
e. Pengendalian hayati
Pengendalian hayati atau sering disebut pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorgannisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Sebagai pengendalian hayati, dapat berperan sebagai pathogen, parasit atau pemasangan. Beberapa jenis ikan, seperti ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing Nematoda, seperti Romanomarmis iyengari dan R. Culiciforax merupakan parasit pada larva nyamuk. Sebagai patogen, seperti dari golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat dikembangkan sebagai pengendali hayati nyamuk di tempat perindukannya. (Soegijanto, 2004).

Daftar Pustaka

Acmad, Holani (1997). Menuju Desa Bebas Demam Berdarah Dengue.Berita Epidemiologi ,Maret 1997.

Ahmad Taufik S, Rohadi, Rina Lestari (2007). Profil Hematologi dan Serologi Penderita DHF yang dirawat di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram Juni 2005-Juni 2006. Jurnal Kedokteran Mataram, Nomor 2, Februari 2007.

Anonim (2007). Demam Berdarah.www.infeksi.com

Alimul, A. Aziz, S.Kep. Ners. (2003). Riset Keperawatan dan Teknis Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika

Banjarmasin Pos (2007). Musim Hujan, Awas Demam Berdarah. http://www.indomedia.com/bpost/012007/5/ragam/art-1.htm Jumat, 05 Januari 2007 00:08

Chemika, Brataco (2003).Nyamuk Aedes aegypty. http://www.bratachem.com/abate/ nyamuk.htm. 14 April 2004

Darwis, Sudarwan Danim (2003). Metode Penelitian Kebidanan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Depkes RI (2004). Kajian Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Badan Litbangkes

Depkes RI (2004). 56 Penderita Demam Berdarah di Jawa Timur Meninggal.www.depkes.go.id.2-11-2007

Depkes RI (2005). Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Dirjen PP& PL

Ditjen PPM dan PLP (1996). Laporan KLB DBD : Upaya penanggulangannya di Kabupaten Kupang Propinsi NTT tanggal 6 s/d 10 Februari 1996.Berita Epidemiologi, Kwartal I,1996

Hayani (2006). Pengaruh Pelatihan Guru UKS terhadap Efektivitas Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue di Tingkat Sekolah Dasar, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 5 No 1, April 2006 : 376 – 379

Hiswani (2003). Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. http://library.usu.ac.id

Muhlisin,Abi (2006). Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Singopuran Kartasura Sukoharjo. WARTA, 124 A, Vol .9, No. 2, September 2006: 123 – 129

Notoatmodjo,Soekidjo (1997). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nursalam, (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan (pedoman skripsi tesis dan instrumen penelitian keperawatan. Jakarta : salemba medika

Pasaribu,Syahril (1992). Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Riduwan, (2006). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Alfabeta

Satari,Hindra dkk (2004). Demam Berdarah : Perawatan di rumah dan rumah sakit. Jakarta : Puspa Swara

Saifudin, Aswar (2004). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Setyowati, dkk (2006). Evaluasi Pemeriksaan Imunokromatografi -. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 2, Mar 2006: 8890 91

Siregar,Faziah A.,Dr. (2004). Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. © 2004 Digitized by USU digital library

Soegijanto, Soegeng (2004). Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Airlangga University Press

STIKES Surya Mitra Husada (2007). Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi. Kediri

Taufik, M. (2007). Prinsip-Prinsip Promosi Kesehatan Dalam Bidang Keperawatan. Jakarta : Infomedika

WHO (1999). Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, dan Pengendalian. Jakarta :EGC

Tidak ada komentar: